Saat ini saya masih berada di Bandung dengan segala memorial yang sulit dilupakan. Dimana dulu, awal perintisan jalur-jalur akademik mulai terukir di Ibu kota provinsi ini. Tapi saya tersadarkan dengan selang waktu yang menghentakkan diri ini dan disaat ini, kawan. Mengingatkan akan segala hal yang sudah kita lalui di “kota perjuangan”. Begitulah para aktivis mahasiswa menyebutnya pada lagu “halo-halo bandung” yang diplesetkan itu. 

Begitu haru suasana saat ini sahabat, bahkan langit di Bandung pun mendung dan meneduhkan semua yang ada di dalamnya. Termasuk para supir angkot yang terus bekerja memenuhi setoran pada majikannya, para satpam yang sedang bertugas di Universitas tempatku menempa ilmu, para tukang parkir sepanjang garis bahu jalan di Dipati Ukur yang sibuk meniupkan periwitan dan melambai-lambaikan tangannya mengisyaratkan para supir, dan para muadzin yang mengumandangkan adzannya di masjid-masjid dekat tempat saya indekos.

Hati ini serasa sudah terikat dengan kekeluargaan yang kita bangun. Sejak awal mengenal laga lingkaran mentoring yang menggairahkan sel-sel otak di kepala dan kelapangan hati yang terukir dengan apik di dada ini. Kenangan ini sungguh sulit saya lupakan, kawan.

 

Itulah kata pengantar yang tersemat dalam project film saya dan kawan-kawan, saat mencoba mendeskripsikan suasana tempo dulu. Tepatnya enam tahun yang lalu, saat bersama merintis karir akademik di kampus itu. Maklumlah kerinduan kami ini sudah sulit untuk dibendung. Karena hanya kami yang masih tersisa di Kota Periyangan ini.

Dua bulan sudah film dokumenter ini kami garap, tapi tak ada tanda-tanda ia akan khatam. Ini terjadi karena kesibukan aktivitas masing-masing. Kami menilai inilah tugas mulia seperti jasanya seorang crew lighting pada sebuah produksi film. Perannya tak seberapa tapi cukup membuat gambar menjadi baik terlihat. Ya, begitu juga dengan keberadaan film dokumenter ini. Sedikit tapi bermakna. “Ane setujuh tuh.” sahut sahabat saya Uus dan kemudian di susul Ika serta Uci meng-iya-kan sambil mengangguk-angguk.

“Terus judul besar ini film apa?” tanya saya memancing. Tiga menit selang dari pertanyaan saya tak ada jawaban, yang ada hanya sebuah keheningan dan wajah berpikir kerasa mengerut-ngerutkan dahi mencari kata-kata yang pas dari ke-tiga sahabat saya. Hm.... tampaknya harus di jadikan saja PR untuk judul film kita ini, usul saya dalam benak. Baru mau saya utarakan usul itu, tiba-tiba ada yang menyambar dikeheningan buntu ini. “Udah kita pikirin masing-masing aja, biasanya ide dateng pas lagi santai. Gimana?” dengan gaya santainya usul Ika mewakili ide saya. Kontan kita yang mendengarkan menyetujui usulnya.

 

***

“Udah ketemu judulnya Fit?” tanya Ika yang sedang main ke kosan saya setelah sepekan obrolan serius kita di Mabes Al-mukmin tempo hari. Saya geleng-gelengkan kepala sambil modar-madir di depan layar monitor CPU seperti detektif yang kehilangan jejak penyelusurannya.

Tiba-tiba ide itu datang dengan deras dan penuh bercahaya di kepala saya. “Bagaimana dengan ‘2K5 Langkah Awal Yang Berarti’?”

Dengan menyulam senyumnya Ika menyetujui. “Tapi klo berarti-nya di ganti sama bermakna, gimana? biar lebih dramatisir dan puitis.” usulnya cemerlang. “Boleh-boleh, boleh tuh. Jadinya 2K5 Langkah Awal Yang Bermakna.” sambar saya antusias.

Semenjak itu saya dan Ika mendeklerasikan ide ini ke Uus dan Uci. SMS pun bertebaran ke ke-dua sahabat saya; Uus dan Uci, dengan redaksi SMS seperti ini:

 

Asslm. Sob, judul film dah ketemu. Judulny “2K5 (Langkah Awal Yang Bermakna)”. Gimana?

 

Tidak butuh lama untuk menunggu jawaban dari ke-dua sahabat ini tentang SMS deklerasi ide saya dan Ika. Mereka semua begitu antusias menyambutnya.

SMS balasan Uus: “Waw, amazing. Lanjutkan gan.”

SMS balasan Uci: “Mantap, ane setuju.”

Dan semenjak itu ‘2K5 (Langkah Awal Yang Bermakna)’ tersematkan dengan gagah di folder khusus data-data bahan film dokumenter di CPU saya. Ika dan saya bersalaman sambil terkekeh-kekeh puas merayakan ide kami yang disepakati oleh kedua sahabat kami itu. Walau sebenarnya belum sempat saya jelaskan filosofi judul ini kepada ke-tiga sahabat saya ini, termasuk Ika. Tapi campuran senyawa kimia persahabatan kita sudah menjelaskannya sampai tuntas. Saya rasa sahabat-sahabat yang di luar kota bahkan di luar pulau sana pun dapat memahaminya. “Ayo, Mas Bro. kita shooting!” ajak saya sambil menggendong tas hitam andalan dengan kamera pinjaman merk Sony yang tipenya tak sempat saya kenali ditangan.[]