Wajah lugu, polos, dan periang itu telah lama tak terlihat akhir-akhir ini. Teman kecil sebayanya selalu berkumpul di ujung siang dekat pohon jambu batu depan halaman rumah neneknya. Satu persatu daun telah berguguran jatuh tertebak angin. Kamana Lala teh?, gumam Caca salah satu teman karibnya.


Pemilik wajah itu kini telah pergi ke kabupaten tetangga sebelah karena pindah kerjaan orang tuanya. Tak ada kabar jenaka tentangnya lagi pasca kepindahannya itu. Jambu buah favoritnya begitu merdeka bergelantungan dimana saja di dahan pohonnya. Maklum saja, itu bisa terjadi lantaran sang penggemar buah telah lama tak menyambanginya.


Permainan masak-masakkan merupakan permainan yang selalu asik di mainkan olehnya dan kawan-kawan. Tak jarang tanaman tetangga tak pernah utuh berdaun sempurna. Daun mamangkokan, bunga mawar, bunga melati, daun jambu pastilah memenuhi dalam daftar komposisi masak-masakannya. Oh ya, tanah dan sebotol air pun menyertai unsur hidangan bohong-bohongannya itu. Dedaunan biasanya  mereka jadikan masakan kecuali daun jambu. Ya, daun jambu yang cukup lebar seukuran dengan uang kertas itu di jadikan alat tukar tak ubahnya uang yang mereka sebut -duit-. Tanah dan sebotol air biasanya mereka sulap menjadi seonggok "kue ulang tahun" yang begitu sepesial versi mereka. Lagi-lagi dunia anak mereka begitu menyenangkan hari-harinya di penuhi dengan bermain. Cerdas bukan?


Pernah suatu waktu Lala yang sedang bermain bersama pamannya di rumah nenek dan juga tetangganya, yang bernama -Mang Nda-. Paman yang begitu gemas melihat tingkah bocah usia 3 tahun cerdas itu, begitu setia meladeni tingkah lucu dan menggemaskannya, Lala. "La, itu apa?" tanya Mang Nda sambil menunjuk hewan yang sedang merayap dipojokan dinding kayu rumah nenek. Lala malah celingak-celingukkan mencari hewan yang dimaksud. Rupa-rupanya hewan itu menandai kehadirannya dengan berdeham, "Trok.... trokkk.... Tok'kek..... tokek......" kontan Lala tersontak berlindung di balik badan sang paman yang cukup tambun dan ia berkata, "Mang Nda, Lala takut..." Gelak tawa tak bisa terelakkan, Mang Nda menggoyangkan bahunya karena tak tahan melihat tingkah keponakannya.

"Nggak apa-apa, lala." Mang Nda mencoba menenangkan. "Itu suara tokek..." dengan sabar sang paman menerangkan. Kemudian "Gimana suaranya?" tanya sang paman mencoba menghibur. "Tokek...... tokek....", Lala mencoba meniru hewan yang baru ia kenalinya sambil posisi mulut monyong yang tak sadar olehnya karena khusyuk meniru.

"Nah, klo tokek kecil gimana suaranya?", "Tokek....." dengan berbisik Lala menjawabnya. "Oh gitu ya suaranya? Hahaha." sontak sang paman tertawa geli mendengar suara keponakannya itu. Lalu dengan iseng Mang Nda menanyakan lagi, "Kalo tokek besar gimana suaranya?" Lagi-lagi dengan wajah polosnya Lala menjawab, "Tokek....." kali ini dengan suara di besar-besarkan seperti suara pak raden tapi versi kecilnya. "Hahahaha", mereka berdua larut dalam tawa karena ulah si tokek kecil dan si tokek besar karangan Lala.
***

Enam bulan yang telah terlewatkan, Lala kecil kini tak ada kabar ceritanya. Pekarangan rumah nenek begitu lebat tanamannya tak ada yang compang-camping. Sekali lagi buah jambu batu depan rumahnya pun utuh berserakan menguning di halaman. Sampai angin berikan kabar duka di ujung penantian seisi kampung, rupanya Lala kecil kini terbaring di rumah sakit karena fungsi hatinya yang tak sehat. Ada selenting kabar yang sumbernya entah dari mana, bahwa Lala kecil tak betah di tempat tinggal barunya. []