Selepas adzan berkumandang dan shalat Isya didirikan, entah angin apa yang membuat telepon genggamku menjerit rewel ingin diperhatikan. Saat itu aku sedang berurusan dengan komputer jinjingku demi menyelesaikan sesuatu hal yang sudah aku janjikan empat tahun lalu, walau kini sudah di ambang lima tahunnya. Mata minusku kini masih sibuk dengan ribuan kata yang terpampang di layar mesin ketik abad dua puluhan ini. Ribuan kata yang telah aku kerjakan tiga bulan kemarin rupa-rupanya masih belum mendapat satu kata yang menghantarkan aku keurusan berikutnya.


Telepon genggam itu tak aku gugu pinta omelannya. Saat ini aku harus fokus dengan komputer jinjingku. Segelas cangkir teh manis hangat selalu setia menemani, walau terkadang ia mulai menjadi pahit dan dingin di ujung penantiannya. Aku tahu gula pasir sedang menjadi barang langka di kamar indekosku. Entah langka atau apa? Yang jelas, aku terasa sudah mulai tak sanggup membelinya. Uang saku bulanan sudah habis untuk biaya tambahan membeli tinta dan kertas. Tapi apa boleh buat air panas seduhan sudah terlanjur teracik, namun organ mulut ini hanya sempat menyasapnya tiga kali saja. Atau jika kurang manis aku campurkan saja tinta sebagai pengganti pemanis? Karena tinta dibeli berasal dari biaya belanja gula pasir yang manis itu.


Nada jeritan rewel telepon genggamku sudah beberapa menit terdengar nyaring. Senyap. Nyaring lagi. Hening kembali.



Sudahlah biar saja. Sekali-kali aku diamkan dia, demi menyelesaikan urusan ini yang sudah membuatku menjadi orang ingkar janji selama dua tahun terakhir ini. Maafkan putrimu ini ya, mama. Gumamku ditengah jebakkan lingkaran koreksi dosen pembimbing yang sepertinya langka jawabannya. Tak terasa dari sudut mata berlinangan air mata menanjaki bukit pipi dan ku usapnya. Karena tak baik bersedih berlama-lama. Begitu guru agama SMA-ku berpesan.


Sudah cukup lama tak aku otak-atik tulisan-tulisan itu mengendap selama satu bulan yang lalu selepas dosen pembimbingku mengoreksinya. Entah rasa apa ini yang berkecamuk dan tinggal betah selama sebulan kemarin di tubuhku? Rasa-rasanya tak perlu aku berdiam diri seperti itu. Apa ini yang disebut banyak orang diluar sana bahkan mama dirumah pun menamai sikapku ini sebagai penyakit orang yang sedang menyusun tugas akhir?

Aku tak peduli apa ini penyakit atau hanya sekedar malas sederhana yang berdampak sistemik di sekujur tubuhku. Tapi yang sekarang aku pikirkan tentang sesuatu gadaian janji yang harus aku tebus. Ini bukan perkara menyelesaikan tugas akhir lantas gelar akan tersandang dengan segala cerita perjuangannya. Tapi ini soal janji yang sempat terikrarkan oleh lidah ini dan perjuangan usaha menyekolahkan dari seorang mama hebat yang menunggu di rumah panggung sana seorang diri. Lima belas tahun lalu bapak telah lebih dulu menghadapNya. Aku tahu mama, mungkin kau disana sedang menitipkan pesan kepada-Nya untukku anakmu yang manja ini.

Helaian lembut angin ini, dinginnnya udara malam ini dan semangat ini begitu terasa mendekap, menyegarkan dan setia dalam setiap ketikkan revisi yang aku buat. Inikah pesanmu yang tersampaikan oleh-Nya ke anakmu ini, mama?

Aku tengok telepon genggamku untuk kebeberapa kalinya. Rupanya ia tak manja lagi, tapi penasaran ini meninju-ninju nalarku. Telepon dari siapa ya, malam-malam gini? Aku raih benda itu. Rupa-rupanya tertera beberapa kata di layarnya bertuliskan, "Mamaku sayang misscall (3)." Ada apa ini? Tak biasanya mama menelpon selarut ini. Tiba-tiba, "Kring... kring... kring...."

"Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumussalam..., sehat kamu, nak?"

"Sehat, mama. Mama disana bagaimana?"

"Mama disini alhamdulillah, sehat." walau aku tahu disana dia mencoba menghiburku dengan berucap seperti itu. Karena baru sepekan yang lalu aku lihat mama meringkih kesakitan saat berjalan, asam uratnya kambuh. "Sedang apa kamu, nak?" susulnya bertanya dengan nada suara lembut. Jujur pertanyaan ini sulit dijawab, sesulit rangkaian kata dan kalimat yang sedang aku revisi malam ini, walau suara itu kini membuat aku rindu padanya. "Loh kok gak di jawab, nak? Halo, halo?"

"Oh iya ma, Rianti lagi membenarkan tugas akhir." tergagap aku menjawabnya selepas melamun merindukan senyumannya yang selalu menyambutku ketika pulang.

"Yang semangat ya, nak. Semoga kamu dilancarkan. Mama doakan disini. Mama sudahi ya teleponnya? Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumussalam, tut.. tut... tut..." degup jantungku semakin teratur dan berirama selepas mama mengucapkan kalimat terakhirnya di ujung telepon tadi yang singkat.

Ya, singkat sekali. Hanya sesederhana itu.

Layar monitor komputer jinjing kembali aku perhatikan dengan segenap semangat baja yang telah dititipkan mama di hatiku ini. Aku tahu di luar sana pasti ada yang senasib dengan ku saat ini. Mau apa dikata rupa-rupanya kata lembur kini aku lakoni. Ini aku jalani demi sesuatu harapan esok hari yang harus aku tangkap. Karena aku Trianti yang tak mau menjadi pengingkar lagi.
***


Jam tepat sembilan pagi, dimana tepat pula dengan janjiku  bertemu Pak Suparman, dosen pembimbingku. Aku ketuk pintu ruangannya dan menganggukkan kepala sambil tersenyum.


"Iya, sini Tri masuk." sergahnya yang sudah mengetahui maksudku.


"Terimakasih, pak."


"Bagaimana sudah diganti yang salahnya?" tanyanya langsung ke pokok permasalahan.


"Sudah, pak." aku jawab dengan singkat dan senyuman.


"Coba boleh saya lihat?" pintanya sambil mengulurkan tangan. Saya pun  menyerahkan draf yang dimintanya. "Hm, ya ya ya. Hm, ya ya ya." hanya itu jawabanya yang ia utarakan sambil memilah-milah lembar demi lembar.


"Bagaimana pak?" tanyaku penasaran.


"Bagaimana apanya?" tanyanya balik dengan ekspresi wajah yang kaku. Tentu ini membuat degup jantungku tak beraturan iramanya kencang. Pak Suparman pun angkat bicara kembali, "Ya sudah."


"Ya, sudah gimana pak?" tanyaku tak paham.


"Ya sudah. Kamu pulang sana." suruhnya dengan wajah santai.


"Maksudnya pak?" wajahku makin bingung dibuatnya.


"Maksud saya kamu pulang sekarang dan persiapkan tugas akhir kamu untuk disidangkan. Daftar segera ya!" jelasnya yang sekaligus membuat bulu kudukku merinding dibuatnya. Aku tegang. "Oh ya, jika sempat pulang salamkan kepada orang tua  kamu di rumah." susul pesannya.


Aku pun lemas dibuatnya hingga tersungkur diruangan sempit kerja Pak Suparman, bersujud.[]