Hari Sabtu, pukul 16.30 WIB;


Roda ban sepeda motor bebek merk satu sayap angsa ini berputar melawan arus waktu. Suasana saat itu begitu gelap mencekam. Hutan pinus khas Gunung Tangkuban Perahu begitu membisu ditengah deras hujan yang tumpah. Jas Hujan yang dikenakkan sudah tak sanggup menahan benturan air dari langit sana. Samar-samar lampu sorot seadanya dari pabrikkan si motor ini pun tak sanggup membelah kegelapan.


Tiba-tiba terasa ada yang berbeda dari laju kendaran tua ini. Kali ini terasa tak selincah biasa, sedikit ada gerakkan lain dari putaran ban belakang. Sempat saya berpikir, apa karena stamina ban belakang yang sudah tak semuda dulu? Ataukah ada ulah tangan jail yang menyebar paku-paku berkarat dijalanan? Tapi itu saya belotkan saja pada terkaan yang pertama. Sambil mengusap lampu sorot terhalang dedaunan yang menempel tertebak angin saya bergumam, terimakasih Sobat, kiranya kau telah lelah biarkan aku yang sekarang menuntunmu.


Pilihan untuk berjalan kaki bukan sesuatu hal yang saya pilih saat itu. Perjalanan pun saya teruskan hingga titik habis udara ban belakang. Kali ini tanjakkan terakhir harus bisa ditaklukkan, karena ini bukan pilihan demi memenuhi ketergesah-gesahan saya. Hingga titik dimana turunan itu telah terlihat,walau sesekali kabut dan deras hujan menghalangi. Plang berwarna hijau dan bertulisan putih sudah cukup membuat saya merasa manusia yang paling beruntung saat itu. Artinya, plang penunjuk arah itu telah memberi berita turunan akan segera menghibur ketergesahan ini.


Tikungan-tikungan curam saya lewati dengan ban belakang yang mulai mengempis dan disertai bunyi klakson kencang, padahal sebenarnya itu adalah rem belakang haus. Kira-kira bunyinya seperti rem pada sepeda gunung. Mungkin karena saya termasuk orang yang menganut pribahasa, "Sambil menyelam minum air sampai kembung."


Memang kawan, tikungan-tikungan curam dan licin itu dapat saya lalui. Namun perjalanan menjadi lebih sedikit gaduh dan tensi horor berkurang.


Putaran roda belakang sekarang sudah mulai sempoyongan tak karuan. Untung saja permukiman sudah saya sambangi. Tepatnya dibilangan Ciater. Perlahan jalan motor bebek ini. Sembari mengedarkan pandangan kiranya ada tabung gas yang mirip Black Box tergeletak dibahu jalan. Syukur Alhamdulillah, yang dicari ketemu. Letaknya satu atap dengan pangkalan ojek depan sebuah Spa yang tenar. "Mang, ini ban bocor euy." curhat saya. Dengan sigap sang Mamang tambal ban merawat ban yang cedera.


Hampir 15 menit sudah menunggu rupanya perawatan sang ahli ban belum kunjung kelar. "Allahu Akbar......" Suara adzan  Maghrib berkumandang.


Saya kira ini ibarat terhimpit waktu. Akhirnya saya putuskan dengan kondisi yang darurat ini shalat dalam posisi terduduk sembari menunggu ban belakang tertambal. Setelah khatam menunaikan kewajiban nampaknya belum juga ada gelagat akan beres operasi ban ini. Disaat itu saya coba cairkan suasana seperti cairnya hujan. "Mang, bocornya banyak yah?"


"Iya A. Lumayan ada dua. Tapi gak ada pakunya, A." jelasnya. Kemudian saya terangguk dan kemudian diam kembali.





***


30 menit pun sudah berlalu. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB pada Hand Phone saya. Namun kali ini seperti tuntas sudah operasi bedah ini. Ban pun sedang dipasangkan kembali oleh sang ahli dengan dibantu dua batang besi untuk mencongkel. Alhasil rampung sudah terpasang. Ketika di isi udara, "pusssssss."


"Kenapa Mang?"

"Ini bocor lagi euy, A." jawabnya sambil tersenyum dengan gigi khasnya yang kuning akibat kerak tembakau.

"Oo, ya udah saya tunggu lagi aja Mang." sembari duduk kembali dan bertanya, "Mang, udah lama buka tambal ban?"


"Udah lama A." jawabnya dengan senyum khas. Saya pun menjadi tak ragu, karena merasa pada tangan yang pas.


"Udah berapa tahun Mang?" tanya saya penasaran.

"Oh, sudah 6 Bulan A." jelasnya mantap dengan mata berbinar. Tiba-tiba mata saya menjadi berkunang-kunang, kabut begitu deras menyergap pandangan. Putih saja. Kemudian tiba-tiba serasa ada sebuah palu raksasa menimpa kepala, pusing.


"Oooo." ekspresi saya yang spontan dengan wajah terlihat nampak bodoh atau lebih tepatnya lagi seperti ditipu anak kecil.


Selang 5 menit operasi penambalan pun kelar dengan aman dan sentosa. "Berapa ongkosnya Mang?"

"Empat belas ribu aja, A." ujarnya sekali lagi dengan senyuman gigi kuning langsatnya. Saya pun memberikannya dengan selembaran uang puluh ribuan dan satu lima ribuan.

"Wah, A. Gak ada kembaliannya." selanya.

"Ya kembaliannya buat Mang aja." jawab saya dengan alih-alih tidak memperpanjang pembicaraan.

Saya starter motor untuk menghidupkannya dan disusul suara klakson sembari berucap, "Terimakasih, Mang." Perjalanan malam yang sempat tertunda ini pun diteruskan dengan meninggalkan rasa tertipu dari seorang ahli ban pemula berwajah polos itu.[]