Entah mengapa saya selalu menemui hal yang cukup menarik ketika Pagi. Saat dimana awal pemberangkatan saya menuju tempat yang bernama kantor. Kali ini saya tidak akan menceritakan opini saya tentang tembakau atau pun tentang yang namanya lemon tea. Dua hal yang saling berseteru dalam hal selera saya. Sahabat Budiman pun sudah tahu mana yang saya tidak suka dan mana yang saya suka.


Ok, kembali lagi soal perjalanan saya dengan sepeda motor bebek cap sayap angsa sepotong. Kami melewati lampu merah dan itu biasa. Kami melewati rel kereta api setra portalnya itu pun biasa. Kami lewati pusat pertokoan yang gedong itu pun biasa saja. Kami melewati gedung-gedung sejarah itupun sudah  biasa. Kami melewati tukang surabi, kupat tahu, baso urat, kue onde, cakwe, dan tukang-tukang alias Mamang-Mamang lainnya itu pun biasa saja.

Tapi kali ini saya sempat tergiur oleh kepulan bala-bala, gehu, dan tempe tepung goreng. Nyam nyam. Maklum pagi ini saya tak sempat untuk sarapan. Kalau urusan tukang gorengan memang sulit dihindari. Mungkin ini kebiasaan yang terbawa dari rumah. Setiap pagi kalau dirumah pasti saja ada ibi-ibi yang datang menjajakkan jualannya, gorengan. Memang spesial gorengan dimata saya. Ibarat gehu, gorenganlah lauk cemilan yang juara saat-saat pagi menjelang. Maaf kalau gak nyambung perumpaman saya yang satu ini. :)

Tak apalah gorengan memang bab lain dalam kehidupan saya. Biarkan kawan sarapan pagi saya itu tersedia dengan apik pada etalase se-adanya ala gerobak kaki lima. Maka saya biarkan mereka menjadi milik orang lain, karena waktu sudah menunjukkan saya dalam keadaan yang darurat alias kesiangan.

Gas pun saya pacu dengan sedikit cepat namun tetap sopan dalam berkendara. Sudah lima lampu merah saya lewati dan memang belum sampai. Ketika lampu merah ke enam berubah menjadi hijau saya melihat pemandangan hampir persis dengan kejadian tempo hari, akrobat sekeluraga dalam satu sepeda motor bebek. Kali ini Ibu muda mengendarai sepeda motor tanpa gigi berjalan dengan santai. Ketika saya terasa terhalang dengan gaya berkendaranya yang santai itu, maka hal mendahuluinya adalah keputusan yang bijak.

Gas saya pacu kembali dan rupanya sang anak duduk dengan santai mengenakkan kaca mata hitamnya nampak imut. Ow, ini lagi-lagi tontonan akrobat gratis. Sang anak tak menggunakan helm. Oklah, saya selalu mencoba melihat dari sisi keselamatan dan kemanusiawiannya. Saya tahu kasih ibu memang begitu membuat rasa aman, tapi kelengkapan berkendara juga dapat menyamankan si penggunanya. Maaf bila agak sedikit menasehati. Cuman saya sekedar saran saja. Agar yang namanya kendaraan itu tidak beralih fungsi. Ya alih fungsi, alat transportasi yang menjadi alat transport kematian.

Tapi Sahabat Budiman kan tahu, kematian sudah ada yang mengatur. Namun alangkah bijak ketika kita berlaku aman sesuai dengan prosedur agar nyawa yang cuma satu-satunya ini tidak sia-sia.[]