Kisah ini berawal dari sebuah rumah berdindingkan bambu yang teranyam. Di sana Seorang kakek sedang mendongeng sarat hikmah untuk cucu semata wayangnya. Cucu semata wayangnya yang masih gadis kecil. Kakek itu menceritakan sebuah kisah yang berasal dari negeri gurun pasir sana. Sang cucu dengan manja menyandarkan kepala mungilnya di pangkuan sang kakek yang menyayanginya. Dengan sabar sang kakek menceritakan kisah Hanif dan Jalal. Tentu cerita ini pernah didengar oleh kebanyakkan orang atau bahkan kalian belum pernah mengetahuinya? Baiklah begini cerita sederhana itu bermulai.


Alkisah di negeri gurun pasir terdapat sebuah kerajaan yang termansyur. Kerajaan ini begitu makmur pun rakyatnya. Raja di sana begitu adil dan arif serta bijaksana. Singkat cerita di kerajaan itu terdapat  dua orang pelayan atau bisa dikatakan asisten rumah tangga raja. Kurang lebih seperti itulah. Namanya Hanif dan Jalal.


Kedua pelayan ini merupakan pelayan yang amat dipercaya oleh Raja, terkhusus untuk urusan membereskan kamar utama Raja. Kedua pelayan ini sudah lama bersahabat. Teramat lama. Bahkan sebelum mereka lahir ke dunia ini. Ya, sebab kedua orang tua mereka telah bersahabat sejak lama. Bahkan bila mereka terlahirkan lain jenis maka perjodohan sudah terikrarkan oleh kedua keluarga. Namun sayang takdir berbicara lain. Maka pantaslah persahabatan dua pelayan ini kita sebut dengan "persahabatan yang terwariskan." Ini takperlu diuji, lihat saja bagaimana mereka selalu akrab dan bekerja saling melengkapi. Sebagai pengikat persahabatan bayi mereka, orang tua masing-masing mengikatkan gelang persahabatan mereka kepada kedua anaknya. Sungguh indah bukan persahabatan mereka?

Raja selalu puas dan makin percaya dengan mereka berdua. Raja selalu memuji hasil kerja mereka. Kamar selalu bersih dan rapih tentunya sangat amat terawat. Di antara mereka tak-ada persaingan, mereka saling melengkapi. Pekerjaan mereka sama, jabatan mereka sama, dan tentunya seragam mereka pun sama, yang ini karena fasilitas dari kerajaan selalu sama. Sungguh indah bukan persahabatan mereka?

Mereka sudah sangat seperti saudara. Kalau boleh diibaratkan mereka adalah saudara kandung yang terlahir beda orang tua. Perselisihan diantara mereka amat sederhana dan tak-ada hitungan dua menit mereka sudah akur kembali. Indah bukan persahabatan mereka?

Selang tiga tahun kedepan, Hanif dan Jalal kini telah berkeluarga. Mereka hidup bertetangga. Istri mereka pun begitu cepat akrab. Suasana di antara rumah dua keluarga itu amat menyenangkan. Teramat nyaman untuk diceritakan. Mereka saling berbagi ketika berkelebihan makanan atau barang. Sungguh persahabatan yang menular.

"Indah bukan persahabatan mereka?" Tanya sang kakek dengan senyuman terbaiknya kepada sang cucu, gadis kecil yang manja di pangkuannya.

"Iya Kek. Indah sekali." Seketika menegakkan badan mungilnya yang terrebah tadi dengan girang. "Teruskan lagi ceritanya, Kek!" Pintanya dengan manja.

"Baiklah. Kamu rupanya sudah tak sabar ya, Cu." Tembal sang Kakek dengan sabar.

Disuatu hari sang raja begitu memuji-muji berlebihan hasil kerja Hanif yang kala itu membersihkan kamar raja seorang diri. Kebetulan pada saat itu Jalal dalam kondisi kurang enak badan dan berpesan pada sahabatnya untuk izin tidak dapat membersihkan kamar raja seperti biasanya. Tanpa disangka kabar ini sampai kepada Jalal yang sedang terkujur lemas dirumahnya. Alhasil dalam dada Jalal ada perasaan yang takseperti biasanya. Perasaan ini seperti tersaingi. Perasaan yang merasa didepak dari tugasnya. Perasaan yang amat takbersahabat. Sungguh perasaan ini memakan habis rasa persahabatan yang telah mendarah daging dan terwariskan ini. Sang istri dengan cepat menghasut Jalal dengan menyumbang ide untuk menjatuhkan Hanif sahabat karibnya ini. "Sudahlah Bang. Kita kerjai saja Hanif. Sepertinya ini akal bulusnya dia agar bisa menyingkirkan abang darinya." Hasut istri Jalal sambil memijit punggung suaminya.

Dalam hati kecil Jalal masih takhabis pikir dengan ide sang istri. Begitu teganya menghianati sahabatnya sendiri. "Masak Jalal seperti itu Dik?"

"Kalau begitu dia tidak akan menjerumuskan Abang seperti ini, dong."

"Menjerumuskan gimana Dik?" Jalal mulai heran dengan pola pikir istrinya.

"Abang polos amat. Si Hanif cuman manfaatin sakitnya Abang saat ini biar dapet perhatian lebih dari raja. Masak Abang gak ngerasa?"

Rupanya Jalal gelap mata dan termakan hasutan sang istri. Tanpa panjang pikiran mereka berdua membuat strategi untuk menjatuhkan Hanif di depan Raja.

"Udah Bang kita buatin masakkan kesukaan dia saja. Gimana?"

"Terus?"

"Ya, udah kita saranin aja dia untuk menutup mulutnya dengan tangan kalau menghadap Raja. Bilang saja kalau mulut kamu membuat bau Raja. Bagaimana?"

Dengan wajah riang penuh dendam Jalal pun setuju.

Selepas malam, Jalal mengundang makan malam sahabatnya beserta istri dirumah sederhananya. Kali ini hidangan yang tersaji berlauk-pauk serba jengkol. Tentu ini membuat Hanif begitu merasa dijamu berlebihan. Namun Hanif selalu menerima apa saja yang diberikan oleh tuan rumah ketika bertamu. Tentunya yang tersaji di depan matanya adalah hidangan kesukaannya dan istri.

Mereka pun menyantap bersama hidangan yang ada dengan lahap. Sela-sela hampir hidangan habis Jalal berpesan kepada sahabatnya, "Hanif, kau besok sepertinya harus menutup mulutmu ketika bertemu dengan Raja."

"Kenapa memang Jalal?" Tanya Hanif dengan tanpa curiga.

"Ya, karena jengkol ini." Jalal menjelaskan sambil mengacungkan sebiji jengkol santapan mereka saat itu.

"Oh iya. Tentunya Raja takmau kebauan karena mulutku ini."

"Nah itu dia yang kumaksud, sahabatku. Kalau aku kan aman karena takkan masuk besok dikarenakan masih kurang enak badan." Jalal pun mengiyakan dan disusul gelak tawa seisi rumah.



Keesokkan harinya di kerajaan,
Pagi itu tak-ada yang berubah aktivitas di sana. Para pengawal masih setia dengan pos-pos yang sudah diarahkan oleh para komandannya, tukang sapu halaman masih bekerja menyisir setiap jengkal halaman kerajaan, juru masak masih sibuk dengan aneka ragam resep menu makanan yang terenak di seantero kerajaan, pelayan-pelayan kerajaan masih sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Dan tentunya Hanif pun sibuk dengan tugasnya, minus Jalal sahabatnya yang sedang sakit.

Hanif pun teringat dengan pesan Jalal agar selalu menjaga bau mulutnya agar takmenyebar kemana-mana. Ia pun selalu menjaga jarak ketika berbicara dengan yang lainnya, bahkan ketika tidak yakin ia pun menutup mulutnya sesekali.

Di waktu yang sama Jalal pun menghadap Raja tanpa sepengetahuan Hanif. Ia mengendap-ngendap hingga luput atau takberpapasan dengan Hanif, sahabat yang sedang ia jerumuskan. Jalal menghadap Raja bertujuan untuk menghasut. "Selamat, pagi Raja."

"Ada apa gerangan Jalal? Bagaimana kabarmu Jalal?" Sapa Raja dengan ramah.

"Ada sesuatu yang saya sampaikan."

"Apa gerangan Jalal?"

"Begini tuanku. Hanif semalam mengeluhkan dengan... maaf tuanku saya terpaksa untuk mengutarakannya. Hanif mengaku selalu kebauan bila berbicara dengan tuanku."

"Apa!!" Raja terlihat gusar.

"Kalau tuanku takpercaya hamba, silahkan membuktikannya sendiri. Pasti Hanif akan menutup wajahnya." Jalal menambahkan penjelasannya.

"Baiklah. Kalau begitu pengawal panggil Hanif!!!" Tanpa pamit Jalal pun lenyap dari hadapan Raja.

Selang beberapa menit, Hanif pun sudah berada di hadapan Sang Raja. Ia mencoba menjaga jarak dan sesekali menundukkan kepalanya sambil menutup mulut dan hidungnya dengan tangan ketika dihadapan Raja. Setiap Raja mendekat Hanif selalu menjaga jarak dan tentunya ia menutup mulutnya seperti Jalal sarankan. Hanif pun merasa kaget ketika pengawal memanggilnya karena permintaan Raja, ada apa gerangan?

Setelah Raja mempercayai laporan Jalal. Lantas Sang Raja tak memberikan hukuman melainkan memberikan sebuah bungkusan yang terbuat dari emas kepada Hanif sambil berpesan, "Hanif ini untuk keluargamu dan silahkan kau beristirahat. Pulanglah sana!"

Hanif pun menuruti perintah Rajanya. Ia pun menerima bingkisan yang diberikan oleh Sang Raja. Dengan wajah penuh kebahagian karena mendapatkan sebuah penghargaan yang begitu indah, bingkisan berbalut emas.

Tidak sengaja Hanif berpapasan dengan sahabatnya Jalal di pasar ketika menuju rumahnya. Tentu Jalal merasa aneh dengan wajah sahabatnya yang berseri-seri itu. Lantas Jalal pun bertanya, "Ada apa gerangan kau begitu bahagia sekali, Nif?"

"Eh, Jalal kau sudah sehat rupanya. Iya, aku diberi penghargaan oleh Raja." Jelasnya sambil memperlihatkan bungkusan itu. Sungguh bungkusan itu membuat iri setengah mati Jalal.

Kok bisa ya? Raja malah memberikan penghargaan bukan hukuman atas laporanku tadi, gumam Jalal iri. "Apa kau melakukan saranku semalam?"

"Iya, aku lakukan. Terima kasih Jalal saranmu membuatku baik di mata Raja." Jelas Hanif sambil menjabat tangan Sahabatnya.

Tanpa tendeng alih-alih Jalal pun termakan api cemburu. Ia dengan beringas merampas bingkisan itu dan memukuli sahabatnya sendiri. "Seharusnya aku yang dipuji Raja! Bukan kau Hanif!!" Teriak Jalal kesal kemudian berlalu.

Hanif pun terkapar lemah, menyesali kejadian ini, menahan sakit memar-memar di wajahnya, sambil melihat gelang persahabatnnya yang putus dari tangan kanannya.

Dan di kerajaan sana, Raja memanggil algojo terbaiknya. Pengeksekusi terbaik seantero kerajaannya. "Kau hukum mati orang yang telah aku berikan bingkisan berlapis emas itu. kemudian biarkan bingkisan itu sampai dulu kepada keluarganya. Setelah itu kau eksekusi saja!" Perintah Raja yang termakan omongan Jalal.

"Nah Cucu Kakek yang manis, begitu ceritanya.  Semoga kau menjadi pribadi yang baik, Cu." Pesan sang Kakek sambil mengelus-elus anak-anak rambut poni cucunya dengan tangan kanannya yang terpasang gelang persahabatannya.

"Kek, besok malam Ceritakan lagi, Kek!" Pinta Sang Cucu dengan manja di pangkuan Sang Kakek.

Sang Kakek hanya tersenyum dan mengangguk dengan hangat.[]