Berawal kisah dari sebuah mobil bus dalam kota, Damri. Pemuda asal Jawa Timur ini meniti pendidikan kejenajang yang lebih tinggi. Saat itu tepat pukul 06.00 am atau jam pagi maksud saya jam enam pagi. Laju jalan bus yang sudah sepuh ini begitu nampak ramah dengan santainya membuat pemuda ini takjub dengan situasi urban dikota yang sedang ia susuri ini.


Entah bagaimana ceritanya pemuda ini berpikiran bahwasannya Bandung menjadi pilihannya untuk menuntut ilmu di jenjangnya pasca SMA. Selepas jam di HandPhone-nya sudah menunjukkan pukul 07 pagi ia telah sampai di pull bus ringkih ini. Ya, tepat di depan Universitas yang dia maksud, sebuah kampus negeri di Kawasan Dipati ukur. Berbekal tas gendong yang berisikan berkas-berkas untuk daftar ulang, dia penuh optimis. "Aku neng kene, bakal sukses." ujarnya dalam hati. Namun semangatnya tak dibarengi dengan isi perutnya yang sudah mulai keroncongan, maklumlah perjalanan jauh dari karawang menuju kampus ini cukup membuat sarapan subuh tadi cepat punah. Ia putuskan untuk membeli sepiring porsi kupat sayur padang yang tak jauh dari pemberhentiannya. Pemuda ini pun memesan apa yang ia lihat itu, demi mendiamkan sejenak organ isi perutnya yang bernama lambung. "Mas, saya pesen satu porsi yo?" pesannya.


Baru beberapa detik ia rebahkan pinggangnya sejenak, pesanan pun sudah didepan mata terhidang. Kontan saja ia begitu lahap menyantap kupat sayur khas Padang itu. Kenikmatan pun di bayar dengan teriakan alaram jam yang di tunjuk-tunjuk oleh handphone-nya sudah tidak dapat berkompromi, sebab batas pengumpulan berkas itu tepat jam 7.30 WIB. Langkahnya bergegas berlari meninggalkan piring bekasnya, kursi duduknya, dan uang ribuan yang berjumlah lima lembar serta bertutur, "Terima kasih Mas..."


Sesampainya di depan registrasi tepatnya di Aula serba guna milik universitas itu. Dia di pandu oleh kakak-kakak kelasnya. Hingga tibalah ia di sebuah pendopo dekat masjid Kampus.

 "Namanya siapa?" tanya seorang kakak kelas yang aktif di masjid.

 "Nama ku Ikus, Mas."

 "Ikus?"

 "Ngge, Mas." tembalnya.

 "Waduh nama kamu kok asing yah, kamu asal flores yah?" tanya sang kakak kelas.

"Bukan, Mas. -Ikus-, Ika Kusuma. Saya asli dari Banjar Negara. Produk Lokal, Mas." tegasnya.

"Ow, maaf ya saya baru dengar nama kamu tuh ternyata punya orang jawa juga yah."


Kemudian mereka pun meneruskan interview itu dan dipenghujung pembicaraan tiba-tiba pemuda ini memberikan surat yang dititipkan dari seorang guru dari SMA-nya. Ya, guru yang telah memberikan mandat melalui surat itu. Dalam amplop itu terlihat samar kalimat-kalimat serius untuk menitipkan pemuda ini.


"Mas ini, saya disuruh menyampaikan surat ini dari guru saya waktu di SMA. Kata beliau, tolong disampaikan ke kakak kelas yang mengurusi masjid." ujarnya sambil menyerahkan surat wasiat itu dengan polosnya. Tanpa ada kata sang senior menerimanya.

Hari-hari pun ia jalani dikampus barunya. Semakin lama lingkup pergaulannya berkembang hingga ke kampus negeri seberang. Jadwalnya pun kian lama kian padat di kota ini. Bukan melulu urusan perkuliahan saja, namun hingga kegiatan kemahasiswaan pun ia cantumkan pada jadwal hariannya. Entah itu rapat, penyiapan acara, promosi kegiatan, hingga menjadi bagian panitia.

Hingga tercetus dalam pikirannya, "Aku sing bisa hafal khatamin Mushaf iki." Disela-sela kesibukkannya ia sempatkan untuk membaca dan mengulang mengingatnya.

Tiga tahun tak terasa masa menimba ilmu di kampus perjuangan ini. Sahabat dekat pun satu persatu telah mendahuluinya lulus dan kebanyakan memilih untuk kembali ke daerah masing-masing. Dengan tekad kuat ia pun berusaha menyelesaikan program diploma-nya dengan nilai yang cukup memuaskan. Alhasil pemuda ini lulus dan mengikuti jejak kawan-kawannya yang lain yaitu, kembali kedaerah asal.


***

Bandung, Tiga tahun setelah kelulusan.


"Syukron akh atas do'anya." ucapnya meng-aamiinkan do'a dari para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat dikursi mempelai.


Dari ujung pintu ruangan pelaminan puluhan sahabat karib di kampus dulu mendatangi undangannya. "Subhanallah, akhirnya ente nikah juga akh Kus." Sahut salah satu kawan sambil menepuk-nepuk pundaknya. Pemuda ini pun menanggapinya dengan lengkungan senyum kebahagian di wajahnya sambil mengenakan baju khas adat Padang.


"Sob, apa ketupat sayur yang pertama kali ente santap jadi pertanda jodoh ente yah?" tegur salah satu kawan sambil bergurau. Dalam hati pemuda ini berujar, "Opo iya, yah?" kemudian tersenyum syukur.[]