Sore itu lembayung senja tak nampak seperti biasanya. Awan mendung bergumpal-gumpal seperti membentuk pola lukisan yang sesekali diselinggi oleh rintikkan hujan dari atas sana. Fadillah begitu paham dengan gejala siklus alam ini. Maklum saja saat ini telah memasuki bulan-bulan penghujan, November. Selepas Fadillah pulang dari aktivitas di hari Jum'at berkah ini, maka hanya sebuah kalimat yang bergelayutan dinalar Fadillah. Ya, “Pulang Kampung!” itu dia kalimat yang begitu setia men-sugesti Fadillah selama empat bulan terakhir ini di ibu kota Periyangan tempat Fadillah mengadu nasib.


Sepeda motor bebek andalan Fadillah, -Joni-. Telah siap menghantar pemuda asal Subang ke ujung dari kota ini hingga sampai ke kota asal. Tikungan demi tikungan, lampu merah, penjual koran, manusia platinum relawan sumbangan panitia asuhan, genangan, tikungan lagi, SPBU milik pemerintah, plang kereta api, Kereta api lewat, lampu hijau, tugu tunas kelapa, lampu merah, lampu hijau, tikungan jalan Istoqomah, Masjid Istiqomah, andong, komplek masjid PUSDAI, tikungan, lapangan Gasibu, gedung Sate, jembatan layang Pasupati, jalan Dago, taman Telekom, gedung Telekom Indonesia, Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, gang-gang panyingkiran, gerobak mie ayam Janda (Jawa Sunda), hingga sampai di gedung berupa rumah yang tersekat tiga dipojokkan daerah Panyingkiran.


“Assalamualaikum…” salam Fadillah. Rupanya kontrakkan yang kami sewa sedang tak berpenghuni. Tanpa basa-basi pintu pun Fadillah buka dengan kunci yang setiap kami pegang tiap masing-masing. Sesegera mungkin Fadillah raih ransel yang telah disiapkan sedari pagi tadi. Jaket kain pun Fadillah ganti dengan jaket kulit yang lebih aman untuk perjalanan jauh. Jam saat itu telah menunjukkan setengah lima sore. Langkah pun Fadillah perlebar menuju Joni. Dan setarter pun Fadillah nyalakan.


Fadillah pandangi sejalur panjang Dipati Ukur begitu ramai ditepi-tepi bahu jalannya. Hingga teringat sesosok pemuda yang lebih gemar berjalan karena tak berkendara Joni, saat kuliah. Dulu kaki ini lebih banyak melangkah dari pada sekarang, sering mengenakan jaket bertuliskan organisasi yang begitu banyak merubah arah hidupku dengan celana bahan yang terkadang bila dipikir-pikir sekarang culun juga gaya ku dulu ya? gumam Fadillah mengenang.




Pemuda ini akui semuanya begitu berbeda saat dimana bangku kuliah diduduki-nya. Ada sebuah aktivitas diluar kuliah berupa lingkaran kecil yang mencerahkan didalamnya. Bukan karena ada lampu senter yang saat itu pun siang, atau karena persentasi produk mukhtahir yang ditemukan pada abad ini. Tapi sebuah surat-surat cinta yang telah terpelihara dari jaman dahulu hingga saat ini. Dan Fadillah begitu terpaku kagum menyimak apa-apa yang disampaikan oleh mentor. Ia pun menceritakan sesosok pria pembawa pencerahan yang begitu sempurna budi pekertinya. Semakin pemuda ini terperangah mendengarkannya. Ini terjadi begitu sekejap saja tak terasa telah dua jam ia menjelaskan surat-surat cinta dan budi pekerti pria itu. Fadillah seperti tergelitik untuk mengetahuinya lebih jauh tentang apa yang ia sampaikan dan dimana ia dapatkan semua hal itu. Kata-katanya sederhana namun dapat dipahami dengan mudah walau sebenarnya yang ia jelaskan sebuah kemuliaan yang sangat agung.


Pernah suatu waktu pemuda ini mem-perhatikan bagaimana ia membacakan surat-surat itu dengan begitu merdu dan penuh penghayatan, cara ia berpakaian dengan jaket aktivis dan celana yang terkatung semata kaki, dan Fadillah perhatikan pula bagaimana ia tak jemu-jemu menebarkan senyumnya itu. Ada sebuah kalimat pertanyaan yang teringat hingga kini darinya, “Bukankah manusia itu seharusnya dapat bermanfaat bagi sesamanya?”


Ilmu apa yang bisa membentuk manusia seperti ini? Atau hukum apa yang bisa membuat ia begitu menata kehidupannya? Semakin membuat penasaran nalar ini saat itu.


Lampu merah membuat laju Joni terhenti sejenak. Ada sebuah toko kue khas oleh-oleh Bandung yang membuat Fadillah berniat menyambanginya untuk orang rumah. Hingga lampu merah berganti hijau, Fadillah pacu gas Joni menghampiri toko yang dimaksud. Joni pun telah terparkir dengan apik dipojokkan parkiran motor sana. Langkah kecil Fadillah pun memasuki toko itu. Puluhan aneka kue basah dan kering tersaji di etalase toko dengan rapih dan menarik perhatian. “Mbak saya yang originalnya satu yah?” pesannya. Ia pun bergegas menghampiri Joni yang telah menunggu lama selepas membayar pesanan. Tak sengaja Fadillah perhatikan ada satu pemuda dengan dua kawan perempuannya sedang menuju masuk ke toko sambil senda gurau ala pemuda-pemudi kebanyakkan. Namun Fadillah merasa begitu mengenal sosok pemuda itu. Dari kejauhan membuat ia agak tersamarkan karena jarak. Itu Akang bukan yah? gumam Fadillah menerka-nerka. Tak ambil pusing pemuda ini pun men-setarter Joni, melesat kejalur perjalanan yang sempat terpotong.


Dalam perjalanan, Ya, Allah lindungilah kami yang masih belajar ini. Berikanlah kenikmatan beribadah kepada-Mu disetiap waktunya. Hanya Engkau yang dapat mencabut dan memberikan kenikmatan ini, maka istiqomahkan kami di jalan ini. Aamiin…[]