Gedung berwarna putih berpadu dengan hitam itu masih kokoh bertengger di jalan protokol kota. Gedung yang kembar ini masih nampak ramah meladeni kamera-kamera pengunjung. Dari DSLR, kamera mini poket, sampai kamera HP yang pixcelnya gak seberapa. Tapi mereka senang dengan keberadaan dua gedung ini. Konon namanya Gedung Kembar, maka di depan gedung itu berdiri patung Sakula Nadewa -tokoh pewayangan yang sama kembar-.

Terduduk seorang pemuda di tembok pelataran gedung itu. Pemuda ini berperawakkan kurus dengan potongan rambut belah tengah tak simetris, serta kulitnya yang agak gelap. Ia menenggak setengah isi botol minuman mineral yang baru saja ia beli di warung seberang.


Pemuda ini perhatikan disekitarnya tepatnya disekeliling gedung kembar ini. Apa ini? Mereka seperti artis yang sedang berdiri di karpet merah saja. Mana acara penghargaannya? Mana piala penghargaannya? Ah, sudahlah mungkin ini yang dimaksud Jamal banci kamera, gumam pemuda ini.


Rupanya pemugaran gedung tua ini yang sebenarnya hanya sebuah dan disulap pemerintah daerah menjadi kembar memiliki daya tarik tersendiri. Bukan hisapan jempol bila seseorang yang mau keluar kota dengan menggunakan kereta pasti akan terpusat pandangannya kepada kedua bangunan itu. Ya, karena stasiun berada tepat di belakang kedua gedung tersebut. Bagi pendatang yang baru keluar dari stasiun pasti tidak akan menyianyiakan kesempatan langka ini, bertemu dengan si kembar.


Pemuda kurus itu masih terduduk sambil membenarkan gulungan tangan kemeja kotak-kotaknya yang berwarna merah berpadu dengan putih dan hijau. Ia melepas lelahnya seharian setelah melahap abis seperempat dari buku-buku sejarah yang tersedia di salah satu gedung kembar. Ya, gedung ini kini berfungsi menjadi perpustakaan kota. Ia mengucek-ngucek matanya yang sudah mulai agak kabur. Badan kurusnya pun ia rebahkan di tembokkan itu sambil memandangi langit sore kota. Lembayung pun kini mulai menampakkan wajahnya dengan anggun seburat samar kekuningan tua.


"Woi, ngelamun? Pamali kata orang tua maghrib-maghrib ngelamun." tegur Jamal -teman sekutu buku dengannya-.


"Mal, liat noh. Keren bener, dah." sambil tersenyum Jaman menunjukkan lukisan di langit sana.


"Wah, mulai deh ente sok senimannya muncul."


"Beneran coba liat dulu, dah. Ada HP gak?"


"Ini ada. Mau di apain HP ane?" tanya Jamal sembari merelakan HP-nya.


"Peristiwa langka, sob. Kudu di abadikan." jawab Jaman sekenanya sambil sibuk jepret sana-jepret sini. Jamal hanya bisa mengusap-usap jidatnya mengikhlaskan memori HP-nya penuh dengan foto-foto yang gak mutu.


"Thank you, sob. Jangan di delete yeh! Entar ane copy dulu."


Dua sahabat ini pun berjalan menyusuri trotoar sepanjang Jalan Kolonel Kornel dan menyeberangi jalan protokol menuju Jalan RE Martadinata. Kedua kutu buku ini pun mengakhiri perjalanannya di Alun-alun kota. Mereka terduduk di kursi jongko yang disediakan mamang-mamang penjual mie ayam. Sambil menunggu pesanan, mereka pun ngobrol dari mulai perjuangan pemuda Purwakarta kala masa penjajahan sampai ngomongin kelakuan alay anak-anak SMA foto-foto di depan Gedung Kembar tadi.


"A, mienya sudah jadi." ujar mamang-mamang penjual mie ayam.


"Oh, iya terimakasih, Mang." duet mereka sambil menerima mangkok panas masing-masing. Dua Sahabat ini pun menyeruput tiap helai mie yang bercita rasa wahid ala jalanan. Mereka begitu lahap hingga hitungan dua menit mie di mangkok raib.


"Sob, liat foto-foto hasil jepretan fotographer handal ini." pinta Jaman sambil sedikit membusungkan dadanya.


"Fotographer kelas teri ente mah, Man." tembal Jamal sambil memberikan HP-nya.


"Widih, cakep bener."


"Apanya yang cakep? gambarnya aja cuman awan doang."


"Wah ente emang rasa seninya jeblok."


"Iya dah, yang seniman." ujar Jamal dengan senyum kecutnya.


"Lah, kok ada monyetnya sih? Perasaan Ane gak moto monyet deh." tutur Jaman buat penasaran Jamal.


"Mana coba liat?" dengan penasaran Jamal merebut Hp-nya.


"Monggo, kalau mau lihat." ujar Jaman dengan tampang usilnya.


"Mana Man? Kok yang ada foto ane."


"Ya itu diaaaa." teriak Jaman sambil berlari menjauhi sahabatnya.


"Dasar, seniman bulukkkk." Jamal pun berteriak kesal sambil mengejar.


Kedua pemuda itu pun mengakhiri kejar-kejarannya di Masjid Agung yang tak jauh dari Alun-alun kota, alias depan Alun-alun. Jaman dan Jamal masih tersengau-sengau napasnya kelelahan. Kemarahan Jamal pun telah reda setelah Jaman meminta maaf.


"Udah Mal, kita shalat dulu sebelum pulang." ajak Jaman sembari terbaring di teras masjid.


"Shalat Maghrib, bukan shalat dulu." sergah Jamal.


"Iya maksudnye itu."


Sambil beristirahat dan menunggu waktu shalat mereka larut dengan candaan khas dua kutu buku tak berkacamata.[]