"Tanggerang-tanggerang, tanggerang-tanggerang........", "Cikarang-cikarang, Cikarang...........", bersahutan para kondektur menjajakkan jasa angkut bus-nya masing-masing. Otakku bekerja dengan cepat menilai situasi ini, Kiranya siapa yang berangkat bus-nya terlebih dahulu itulah sang pemenang kontes adu vokal trayek jurusan Bus antar kota ini.



Tak diduga terpatahkan sudah semua penilaianku tadi, selepas bus dihadapanku berangkat dengan berjalan sangat ringan; bukan karena kuota kursi sudah penuh sesak, melainkan si kondektur tak pandai mengalunkan vokalnya. Terpaksa sang supir mengambil inisiatif menjauhi persaingan dan merapat ke bibir pintu tol dengan harapan banyak calon penumpang yang menunggu disana. Pengertian sekali Sang supir terhadap rekan kerjanya ini, salut ku. Selidik punya selidik yang tak jelas sumbernya dari mana, sudah tiga jam sang kondektur berjajal adu vokalnya untuk menarik masa namun tak berhasil memenuhi kursi kosong yang tersedia. *malangnya-malangnya.


Siang itu terik sinar mentari amat panas dan kondisi terminal Leuwi Panjang ramai; masih  sama dengan hari-hari biasanya, namun kali ini ramai tak terkendali situasinya. "Dimaklum atuh da sapuluh hari deui pan lebaran, Pak", begitulah salah satu petugas terminal menjelaskan kepada seorang pria tua bertujuan Jakarta yang tepat duduk disebelah kananku dikursi tunggu. Ia nampak menunggu dengan memasang wajah cemas di usia 50 tahunannya. Kiranya apakah ada bus yang sudi mengantar diriku? pikirku menduga jalan pikirannya.


Membuka pembicaraan dengannya adalah penawar racun dugaan-dugaan yang tak berargumentasi dalam benak ku.


Saya     : Pak mau kemana? *pertanyaan yang amat basa-basi, toh petugas terminal sudah

                menanyakan sebelumnya.


Pak Tua : Oh, saya mau ke Jakarta.

                Ade sendiri mau kemana?


Saya     :  Saya mau ke Purwakarta, Pak.


Pak Tua :  Oh, Purwakarta ya. Kalau itu kelewat dong sama saya. * :)


Saya     : Iya, Pak. * :)


Pak Tua : Di Bandung kuliah atau kerja, De?


Saya     : Saya kuliah, Pak.


Pak Tua : Oh, kuliah. Anak bapak juga ada yang masih kuliah kok tapi perempuan.


Apa maksudnya membahas anak perempuannya yang masih kuliah? pikirku kritis. Dan Ia pun meneruskan perbincangan.



Pak Tua : Sepertinya usia putri saya gak jauh berbeda dengan ade. * :)


Saya     : * :)


Pak Tua : Berapa kalau boleh tau usianya, De?


Saya     : Dua puluh tiga tahun, Pak.


Pak Tua : Ow, lebih muda satu tahun anak saya kalau gitu.


Semakin menjadi-jadi saja pikiranku menterjemahkan setiap pembicaran dengannya seakan-akan sebuah wawancara perjodohan dengan putrinya yang ia banggakan itu. Irama jantungku sudah semakin tak karuan saja tatkala ia menyinggung-nyinggung putrinya lagi. Cukup pak, cukup. Saya tak nyaman dengan kondisi seperti ini, bisa-bisa saya mati duduk karena gerogi. Ia pun meneruskan perbincangan kecil kita yang tak mulai disukai oleh nalarku ini.


Pak Tua : De, Purwakarta tuh ciri khas makanannya sate marangi ya?


Akhirnya dia membaca dengan baik bahasa kerutan dahi ku. Nah, gitu dong bahas yang lain. *Sahutku dalam hati. ;)


Saya     : Iya Pak, tapi masih ada juga yang lain.


Pak Tua : Apa, De?


Saya     : Simping, Gapit. Kalau barang-barangnya itu kerajinan keramik.


Pak Tua : Oh, gitu ya.


Saya     : Iya Pak, tempat wisatanya juga lumayan buat Refreshing. Ada Situ Buleud, Waduk Jatiluhur,

               Situ Wanayasa, Wisata Kampung Agro Salem, Curug Cipurut masih banyak yang lainnya

               , Pak.


Pak Tua : Boleh juga tuh, buat Referensi liburan tahun ini.


Saya     : Silahkan Pak.


Pak Tua : Tapi Purwakarta tuh, tenar juga dengan nama kota pensiunnya ya?


Saya     : Em, iya Pak. *mengiyakan tanda penghormatan saja. :)


“Jakarta-Jakarta, Jakarta....”, “ ayo, satu lagi-satu lagi berangkat....” Kondektur berteriak dari bus jurusan yang di nanti oleh lelaki tua dihadapanku ini. Tanpa basa-basi ia pun bergegas naik ke Bus dan mengucapkan perpisahan seperti ini:


Pak Tua : De, Insya Allah kalau ada umur kita bisa ketemu lagi ya... * :)


Saya     : Iya Pak. *sambil melambaikan tangan menandakan persahabatan


Selepas bus sudah tak nampak di ujung jalan sana. Baru ku sadari, ternyata kita tak sempat tukar nomor telepon atau sekedar berkenalan nama. Hal itu semua terlupakan dan hanyut dalam perbincangan singkat kita. Dari mulai tanya jurusan tujuan, membahas tentang putrinya yang membuat keringatku tak terkontrol lepas; layaknya telah lari sepuluh kali lapangan futsal, sampai dengan membahas seputar kota asalku yang nyaman.


Saat penantian bus tujuanku di perpanjang karena tak nampak juga batang hidung angkutan masal itu. Teringat pertanyaan terakhir dari teman tua baru ku tadi, “Tapi Purwakarta tuh, tenar juga dengan nama kota pensiunnya ya?”. Dalam benak aku berpendapat, apa benar ya kota asal ku itu kota pensiun? Setahu ku Purwakarta kotanya dinamis, kok. Terlihat aktivitas ekonominya yang masih eksis, pembangunannya sudah semakin tertata. Terbukti dengan kekompakkan gapura-gapura khasnya di seputar zona Purwakarta dan pro-kontranya keberadaan patung-patung besar bertemakan pewayangannya. Apa mungkin kota ku di juluki seperti itu karena nama satu jalan yang terpampang gagah di plang jalannya? Ah alasan yang tak mendasar. Mungkin, nama itu bisa ditemukan dikota bahkan pulau lain di nusantara ini. Jl. Veteran itulah dia biang keladi hipotesis konyol ku kali ini, kawan.


                                                                       ****


“Purwakarta-purwakarta, purwakarta.....”, “ayo langsung-langsung.... lewat cipularang...”, teriakan Seorang kondektur menyadarkan aku dalam lamunan. “Mang tungguan! Saya ka Purwakarta..........”, teriakan ku sambil berlari mengejar laju Bus.