Selepas subuh itu, aku telah bergegas menyiapkan apa yang harus disiapkan untuk pagi nanti. Jam dinding nampak congkak tak mau berbagi kemurahan hatinya untuk wajah letih sisa kemarin ini. Pukul 05.00 WIB, semuanya harus sudah rapih masuk kedalam kantung hitam yang selalu aku slempangkan di badan kurus ku ini. Pulpen, handPhone lengkap dengan headset-nya, sekotak obeng beserta kroni-kroninya, dan name tag sang kunci masuk kekawasan itu.

Perlengkapan kerja telah siap! Ok, selanjutnya kita bebenah diri. Kamar mandi dan pakaian seragam sisa kemarin menjadi tujuan. Gayung demi gayung berdayung di bak mandi yang dasarnya tak nampak karena terhalang oleh endapan lumpur sumur akibat mesin penyedot air tak berpenyaring. Maka tak jarang wangi sabun dan lumpur selalu bertempur di sekujur tubuh usai mandi.

 

Begitu sibuk subuh itu di kamar kontrakan dua kali tiga yang menghabiskan se-per-empat gaji ku.

 

Tepat pukul 06.00 WIB semua keributan di kamar kontrakan itu telah khatam. -Si Jenggo- di luar sudah siap mengantar, motor bebek tahun 90-an ku itu selalu setia. Jarang sekali mem’bleh walau rute tiap harinya memakan 20 km pulang-pergi dengan tanjakkan yang menyedihkan dan turunan yang sedikit menyenangkan bagi motor bebek hitam bututku ini. Walau jalan –Jenggo- sedikit menggigil yang kadang aku terlalu jauh menyangka tentang jalan menggigilnya itu, entah selalu dihubungkan dengan udara pagi yang dingin merasuk mesinnya atau sendi-sendi motor manulanya yang sudah tak perkasa lagi. Entahlah?

Pintu gerbang dengan segala posko satpam di kanannya telah nampak di pelupuk mata. Kepulan asap putih kecoklat-coklatan pekat dari selongsong-selongsong raksasa dekat gedung produksi pabrik telah mulai mengancam paru-paru ku. Tak khayal bila sesekali batuk akan merambat sampai ke sepuluh kalinya.

“Pagi Pak Muksin”, sapa ku melewatinya di pos penjagaan. Seragamnya yang gagah selalu nampak menyeramkan mengalahkan keramahan senyumnya yang tertutup tebal kumis berjajar rapihnya. Aku selalu curiga dengannya, pasti Pak Muksin selalu membeli minyak rambut gel extra tiap bulannya untuk memelihara rambut cepak dan kumis tebalnya yang selalu kelimis. :D

Hingga senja mau menyudahi hari, aku masih bergelut dengan mesin-mesin pemintal kapuk di hadapanku. Semua Ini demi –Santi- di desa yang senantiasa mau setia menunggu untuk ku kekasihnya, serta biaya hidup di kota rantauan ini dan harga kamar sewaan ku di 10 km sana.

Sepucuk suratku untuknya semoga telah tersampaikan.

***

Di ujung Surat sana Sinta membacanya;

Dear Santi, 

Santi, awal Mei nanti aku akan pulang. Mencoba meyakinkan kedua orang tua aku dan kamu, untuk menebus penantianmu selama ini. Ya, di awal Mei nanti. Dihari semua buruh berunjuk rasa untuk merayakan -May Day- ke Ibu Kota sana, tapi aku tak ikut terlibat kesana, Santi. Karena aku akan berunjuk rasa menyampaikan isi hati ini di ujung jari manis mu. Semoga cincin ini dapat meyakinkan mu untuk sudi menunggu hari pernikahan kita nanti.

                                                                                                                                                           Salam sayang,

                                                                                                                               

                   

 Moko sang arjuna mu.

Tak ada sepatah kata pun darinya usai membaca di kursi teras depan samping pot tanaman melati kesayangannya. Walau senja kini mulai menggelap, ia hanya membenamkan wajahnya pada sepucuk surat yang di genggamannya dan tersenyum bahagia.[]