Pagi buta itu, disaat semua tertidur lelap. Sesosok pria seperempat abad sudah melangkahkan kakinya menuju stasiun antar kota untuk tujuan yang hanya ia dan Tuhan tau. Selepas shalat Subuh ia sudah bersolek dan membopong tas ransel andalannya, berisikan; pakaian serta oleh-oleh yang sudah ia siapkan sejak kemarin sore saat pulang kerja. Ia menyundutkan sebatang kretek kesukaannya ke kriket miliknya sambil duduk di bangku calon penumpang yang sudah nampak reyot dengan warna biru pudar kusam. Ia menyasap batang demi batang kreteknya sambil berharap kereta antar kota yang hadir dua kali distasiun tempat ia menunggu datang dengan semua harapannya. Dua kali dalam sehari saja kedatangannya, kawan. -Sang Kereta harapan-; dengan jadwal pemberangkatan pagi dan sore hari; alias pagi buta pukul 05.00 WIB dan sore petang pukul 20.00 WIB. Hanya gerbong-gerbong tua setia itu yang sudi menampung kaum sudra sepertinya. Tragis memang.

Saking jarangnnya, enam bulan yang lalu pria ini memutuskan untuk hal yang sama. Selepas shalat Subuh ia sudah bersiap diri berdiri di stasiun menanti sang kereta harapan, namun karena oleh-oleh tertinggal di indekosnya maka ia pun kembali. Sesampainya di stasiun itu, ia telat 5 menit dan kereta harapan itu telah pergi meninggalkannya, yang terlihat hanyalah pintu belakang gerbong yang terbuka seolah-olah berkata, "selamat tinggal, bye-bye." lenyaplah sudah harapannya di pagi itu dan menunggu kembali sampai sore petang.



Ia tak mau kejadian enam bulan yang lalu itu terulang kembali, karena esok hari momentum dimana semua anggota keluarga berkumpul. Maklumlah rasa kangen seorang perantau telah mengetuk nalarnya di negeri orang yang jauh dari keluarga dan kebetulan ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara yang mengadu nasib di ibu kota periyangan dengan berbekal ijazah SMK, maka ia putuskan untuk lebih teliti dan cekatan.
***

Sudah enam batang kretek yang habis ia hisap demi menjaga suhu tubuhnya, namun tak kunjung kereta yang di tunggu datang. Bahkan hembusan angin subuh mengalahkan kepulan asap panas kretek yang  terpontang-pating hingga lenyap dari hadapan mata.

"Harusnya sudah datang nih jam segini?" gumamnya sambil melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 05.00 WIB. Ah, mungkin sedang dalam perjalanan, pikirnya menerka-nerka.

Semakin ia menerka-nerka semakin buntu pikirannya untuk mengobati rasa kesalnya. 15 menit sudah ia menunggu sang kereta. Sudah puluhan kali ia palingkan pandangannya ke ujung rel yang tak berujung itu, namun tak sedikitpun ada tanda-tanda kehadirannya. Saat ia ingin menanyakan keterlambatan ini, tiba-tiba tak ada seorang pun karyawan stasiun yang menampakkan batang hidungnya: petugas pelayanan tiket, penjaga loket informasi, satpam, tukang parkir, kepala stasiun, tukang penjaga peron dan kesemuanya lenyap tak bersisa. "Loh kok sepi ?" ujarnya dalam kesendirian.

Ia pandangi lagi ujung rel yang biasa membawa harapannya pulang ke kampung  itu. Di kejauhan sana nampak perwujudan lokomotif usang yang tangguh dengan suara kelaksonnya "Hung.....Kung....." nyaring dan keras. Deru mesinnya memecut roda-roda besinya dengan semangat '45 sehingga rel-rel itu berguncang "jek...jek.....,jek.... jek...., jek... jek...."

Semakin sumringah raut wajah pria muda ini ketika yang ia lihat memang kereta yang di nanti datang, semakin merapat ke stasiun semakin ia menyunggingkan senyumannya. Dan pada jarak 100 meter kereta itu mendekat, "Acil..... Cil.....", "siapa yang manggil ya?", "Hei, Acil..... sebelah ini......", suara panggilan itu berlomba dengan suara rem lokomotif itu "Cekit....krek..krek...kek...." begitu bising suaranya hingga samar-samar suara panggilan itu terdengar.

"Sebelah sini...", koor Emak, Abah, dan ketiga kakak Acil; Sujana, Anjar dan Triyanti. "Emak....." tembal Acil sambil berlari menyambut keluarga kecilnya.
"Sini Mak, ku abdi nyanak koper na.", "Mangga Jang, kumaha kabar na atuh budak Emak teh?", "Alhamdulllah sehat, Emak sareng Abah kumaha?" "Alhamdulillah." Kompak Emak dan Abah menjawab.

Di Stasiun itu ramah-tamah keluarga kecil melepaskan rindunya dan Kang Sujana membuka obrolan, "Jadi kieu Cil, Abah sareng Emak teh hoyongeun pelesiran ka Bandung sakaluarga. Nyak entos weh akang, A Anjar sareng teh Anti 'teh, ngiring sakalian ngajajab Acil."  "Mangga atuh kang, Padahal mah Abdi teh dinten ieu bade ka kampung. apanan enjing teh libur bersama. Nyak entos, hayu atuh urang ka kost-an abdi?" "Mangga." koor sekeluarga.

"Wah niatnya mau pulang kampung, ieu mah jadi pulang kota." dalam perjalanan menuju indekos, acil bergumam sambil tersenyum. "kunaon Jang?" tanya Emak yang terheran-heran melihat Acil yang tersenyum-senyum duduk di sebelah kanannya dalam angkot. "Teu aya na naon, Mak." jawab Acil sekenanya karena kaget.