Siang itu di Pelataran Masjid Al-Ikhlas cukup ramai tak kalah oleh kesibukkan pasar Ujung Berung. Lalu lalang mobil-mobil besar dan angkot terlihat jelas dari sana. Memang masjid ini berada tepat di depan jalan raya antar kota. Maka tak salah bila pelatarannya menjadi tempat paling favorit bagi para pelancong atau warga sekitar di Bulan Ramadhan untuk sekedar berduduk-duduk dan berselonjoran ria atau berbaring sejenak yang di ujungi dengan bunga tidur. Termasuk Jaman, pemuda kurus berwarna kulit sawo matang itu.


Jaman memarkirkan sepeda motornya dan memilih beristirahat sambil menunggu waktu Ashar sebelum ia melanjutkan kembali perjalanan pulang kampungnya. Ia memandangi di sekeliling tempat ia terduduk sambil meluruskan kedua kakinya. Rata-rata banyak yang sedang mengobrol dengan tema pembicaraan yang nampak menarik bagi mereka masing-masing. Jaman mengistirahatkan badannya sejenak dengan bersandar ke tembokkan masjid sambil memeriksa HandPhone-nya. Tiba-tiba dua sejoli yang entah siapa nama mereka memilih duduk tepat di depannya. Jaman, pemuda pelancong ini pun tak merasa terusik dengan pemandangan di hadapannya itu.

Jaman sempat sesekali memperhatikan sepasang muda-mudi itu ketika sang wanitanya tertawa kecil manja. Apa sampai ya mereka? pertanyaan muncul dibenak sang pelancong sebatang kara saat itu. Pemuda seperempat abad itu mengusap dahinya yang mulai berair keringat karena panas. Jaket serta rompi anti angin ia buka untuk mendapatkan udara segar. Barang kali masih tersisa udara-udara sejuk pagi tadi khas Bandung.

Ketika angin berhembus, berlalu pula sepasang kekasih anak muda itu. Entahlah, mungkin malu terasa di awasi atau memang tertiup oleh angin. Entahlah.

Tak lama muadzin mengumandangkan tugasnya. Jaman pun bergegas merapihkan barang bawaannya dan bersiap-siap untuk shalat.
***



Jaman mengenakan kembali perlengkapannya dan menuju ke motor bebeknya yang ia parkir. Perjalanan yang sempat tertunda pun ia lanjutkan. Namun pikirannya terbang ke dua hari kebelakang setelah melihat dua sejoli tadi. Ya, dua hari kebelakang tentang obrolannya dengan seorang sahabat wanitanya. Loni namanya. Pembicaraan berawal dari tak terasanya usia mereka telah seperempat abad dan di akhiri dengan sebuah pembahasan yang bernama pernikahan. Hingga di antara mereka saling menanyakan keluarga impian masing-masing.


Loni menginginkan sebuah keluarga harmonis dengan anak-anak yang cerdas dan soleh-solehah. Sahabat wanita Jaman ini memaknai sebuah keluarga adalah ibdah. Memang Loni ini termasuk wanita yang cukup religius. Tapi sisi sosialnya tidak usah diragukan lagi. Ia selalu konsen dan antusias ketika membicarakan gembel, anak jalanan dan yang lainnya. Memang Loni merupakan sahabat Jaman yang paling nyaman untuk bertukar pikiran. "Lantas Keluarga versi mu apa, Man?" tanya Loni dengan suara khasnya.


Keluarga menurut Jaman ibarat shalat berjamaah dalam kekhusyukan, Lukisan cantik yang penuh warna, layaknya harta yang takkan pernah habis walau dibelanjakan. Sambil tersenyum Jaman meneruskan jawabannya, "Dan pernikahan itu seperti sebuah negara yang kecil namun di dalamnya ada unsur saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran."


Dalam perjalanan pemuda itu mempertanyakan lagi di benaknya, Apa sampai ya mereka?[]