Hari MOS pun berlanjut menjadi sebuah kisah yang sudah sepantasnya siswa baru melaluinya disebuah  sekolah baru. Kenyataan ini kami telan dengan berbekal segala peralatan dan persyaratan yang membuat kami terlihat seperti orang-orangan sawah. Coba lihat saja penampilan kami ini, sepatu kets bertali rapia dengan warna yang berbeda alias beda toko, merah dan kuning. Name Tag bertengger di leher kami yang terbuat dari karton warna merah putih dan tali kur, serta tersemat dengan apik foto masing-masing. Terselempang tas terbuat dari kantung keresek dan tali rapia merah menyilang di tubuh kami. Ini belum seberapa. Lihatlah tali-tali pita kuncir yang menggantung berbeda warna di rambut teman-teman perempuan kami. Kalau boleh saya umpamakan ini seperti tanaman hias yang sering ibu-ibu PKK buat di Balai Desa.


Pagi itu saya merasa seperti badut yang siap pentas. Bayangkan setiap pasang bola mata dari dalam sampai depan gang tertuju pada -kami- saya dan Ivan teman sekampung yang bersekolah sama, karena penampilan kami tak lazim. Wajah kami nampak merah padam dan itu bukan mek'up. Itu merupakan rasa malu kami yang telah mendidih sampai ubun-ubun dan sudah tidak dapat dibendung. Sungguh konyol penampilan saya saat ini.



Pengujian mental kami tidak berhenti hanya di depan gang saja. Lihat bagaimana ekspresi aneh dari setiap penumpang yang duduk se-angkot dengan kami. Sungguh ini membuat kami enggan untuk sekedar berbicara seperti hari kemarin. Sebelum hari yang bernama MOS itu memperkenalkan diri kepada kami kemarin. Kami terduduk berdampingan. Diam. Hanya dapat tertunduk karena malu yang sudah tidak dapat tertahan. Sungguh hanya diam yang dapat kami lakukan sambil berdo'a. Cepat sampai di Terminal Simpang adalah do'a satu-satunya yang kami panjatkan di dalam angkutan pedesaan itu.


Parakan Salam, Pasawahan, Cihuni, Pasir Kihiyang, dan Simpang pun telah terlihat di kaca depan mobil yang sudah mulai berembun karena usia. "Simpang-Simpang, Simpang habis....." sahut kondektur bergelantungan di lawang pintu belakang angkot sambil menepuk-nepuk kaca menandai pemberhentian.


Terminal Simpang saat itu begitu lain. Ya, lain. Karena disini terkumpul anak-anak bangsa yang dari kampung seperti saya dan Ivan menjalani persyaratan masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, MOS. Kami berkumpul seperti sekumpulan spesies baru yang bercorak dan berpenampilan aneh. Kalau saya boleh menamai spesies baru ini dengan bahasa lebih ilmiah badutsis Mossapien.


Saya dan Ivan pun bergegas menaiki angkot perkotaan yang menuju sekolah kami. Bukan apa-apa Terminal Simpang menjadi ajang perebutan angkot bagi kami karena takut kesiangan. Tentunya hukuman Senior sudah menunggu bila itu terjadi.


"Mang PGRI kiri, Mang..." ujar saya sambil sibuk mencari topi yang lebih mirip aseupan kata Emak. Selepas membayar ongkos saya dan Ivan berlarian menuju gerbang karena takut kesiangan. Sesampainya kami di depan gerbang. "Sebentar, Kakak periksa dulu." ujar senior tegas. Kami pun menyerahkan tas karesek pasrah. Senior itu memilah satu persatu bawaan kami. Dia mempersilahkan Ivan masuk dan memelototi saya, "Kacang ijonya mana?" tanya ketus.


"Saya lupa, Kak." jawab saya sedikit miris.


"Kamu ikut saya ke sekretariat panitia." ujarnya sambil memboyong saya ke tempat persidangan itu. Saya menjadi berpikir, lebih baik kesiangan saja tapi bawaan perlengkapan lengkap dari pada on time tapi masih aja kena hukuman gara-gara gak bawa sebungkus kacang ijo yang harus seratus butir itu.