Subuh, waktu-waktu di mana Kampung Babakan Caringin masih hening dan takseramai Pagi, Siang atau Sore. Jangan kau tanya soal Malam di sana, tentu saja diam, kawan. Hitungan ba'da Isya di sana sudah seperti permukiman takberpenghuni.


Kampung yang memiliki hampir mencapai seratus kepala keluarga ini tak-ubahnya seperti desa pada kebanyakkan. Tentram, damai, sangat jauh dari kebisingan. Bukan begitu penilaian kalian tentang kami, kawan urban?


Entah bagaimana kisahnya, Subuh pada minggu ke-delapan saat kami baru saja pindah ke sana, ada sebuah kegaduhan yang amat sangat. Ya, kegaduhan. Ketika speker mushola dekat rumah raib diambil orang. Kontan Subuh itu tak-ada yang terbangun dan menyambangi mushola untuk beribadah. Entah apa modus pelaku melakukan ini. Banyak kesimpulan warga tertuju kepada soal ekonomi. Ya, ini pasti soal ekonomi. Kehilangan speker mushola sudah barang tentu kehilangan suara gemaan lantunan adzan Amang usse yang melengking. Bukan hanya kehilangan itu saja, tapi warga sesungguhnya kehilangan bel jam weker besar yang bernama speker mushola.


Hingga Pagi menjelang, berita Subuh tadi telah menjadi buah bibir. Dari satu bibir ke bibir lain, dari orang tua hingga bocah ingusan, dari kantor inti desa sampai rakyat jelata sepeti Mang usse. Sungguh ini membuat stabilitas perekonomian dan politik di desa, bahkan sedesa di sana terganggu. Rumor ini menjadi berkembang menjadi taktentu arah alias sudah tak-otentik lagi. Sudah terlalu banyak bumbu-bumbu di sana-sini. Menurut para pengamat gosip di desa ini - Ceu Enih, rumor ini akan bertahan hampir tiga bulan terakhir kedepan.

Di toko kopi esok paginya,
"Jun, speker teh sudah ketemu? " Mang Bubun pemilik toko.


"Belum euy Mang. Gak tau belum ketemu siapa oknumnya? " Jujun menembal dengan nada lemas laiknya seseorang lalu patroli.


"Heran saya mah,  Jun. Speker mushola sampe dimaling segala! " Tegas Mang Bubun sang peracik cairan pekat nikmat itu. Junjun membalasnya dengan anggukan orang yang mengantuk. " Huyaaaa , bahkan tidur didinya , Jun! "  Mang Bubun mengagetkan.


"Ngantuk euy Mang. Saya ngeronda semalem, huaaah . " Tembal Jujun dengan mata merahnya yang kurang tidur.


"Salut saya ke ente , Jun. Peduli ke lingkungan yang sedang tidak aman kayak gini. "


"Kalau gitu buatkan segelas kopi mantap gratisnya, Mang." Pinta Jujun dengan sedikit menyunggingkan senyuman negosiasinya. Mang Bubun pun memasang wajah masamnya sambil manyiapkan segelas kopi racikan saktinya. Ya, sakti. Sekali minum orang ngantuk langsung cenghar .


"Ni Jun." Mang Bubun sembari menyodorkan kopi. " Ngan besok-besok kudu bayar. Ini mah itung-itung saya menghargai kepahlawanan ente, Jun. " Lanjutnya.


Sambil tersenyum penuh bahagia ia pun bersahut sedikit menjilat, "Terimakasih Mang, memang Mamang baik na tiada duanya. " Tanpa menunggu dingin makanan di depannya, ia pun langsung menyasapnya bak penikmat kopi kelas wahid .


Obrolan pagi di warung mang Bubun pun mengalir begitu saja, semengalirnya kopi melewati kerongkongan Jujun yang kantuknya kambuh. Dan pengembangan kasus speaker mushola pun masih mengawang, semengawangnya pikiran Ceu Enih menyodok bumbu gosip kasus ini sedemikian rupa menjadi fenomenal. Sepertinya tiga bulan pasti akan tetap 'in' .