Langit pagi saat ini begitu jernih kawan. Ku edarkan pandangan mata ini ke langit, tak ada segumpal pun awan yang berarak. Sesekali ku hirup udara pagi yang begitu bersih di halaman depan indekos sambil merenggangkan tangan dan pinggang yang berusia se-perempat abad ini. Ku dapati beberapa kawan begitu sibuk di pagi ini. Yasir, begitu subuh sekali merelakkan tubuhnya tersentuh air demi sebuah undangan kawan kami. Padahal aku tahu dia begitu menggigil karena ulah udara subuh Bandung yang berkolaborasi dengan air PDAM-nya. Uci sibuk mengayuh pedal mesin sepeda motor bebek biru langsatnya untuk mengantar Yasir mengambil mobil sewa-an kami dengan alih-alih ingin memanaskan jantung sang sepeda yang konon bermesin itu, sambil menunggu Yasir menyudahi pertempurannya di kamar mandi pagi ini.


Husna sang ketua rombongan begitu sibuk dengan batik yang ingin dipakainya siang nanti (menggosok-gosok setrika-an yang panasnya pol banget) hingga kusut hilang dari area batik kebesarannya (besar ukurannya). Ia pun tidak lupa menyiapkan kopiah dan kaca mata berkaca ungu nyentrik. Berbeda cerita dengan Zae, temen ku yang satu ini sedang mengumpulkan kesadarannya pasca shalat subuh berjama'ah tadi, ia langsung menuntaskan jatah tidurnya yang terpotong karena obrolan kami semalam (maklum lama gak jumpa). Matanya terlihat masih sulit untuk di buka dan ia berucap, "Bangunin Ane 10 menit lagi yeh!"


Satria temanku asal Tanggerang ini tak terlihat begitu sibuk, yang ku lihat dia sedikit kesakitan dengan perutnya yang ia bilang, "Radang ane kambuh euy." sambil meringkih kesakitan ia mengusap-usap perutnya sejak semalam. Tapi ia begitu berniat datang. Buktinya ia datang lebih awal ke Bandung di antara kawan lain yang di luar kota. Tapi al-hasil perutnya dapat berkompromi dengan niatnya, hingga ia bersiap-siap mempersiapkan baju kemeja kotak-kotaknya yang lebih dominan biru warnanya selaras dengan celana jins-nya. Dan yang terakhir Asep Supriyadi kawan yang usianya lebih muda diantara kami ini, masih terpejam dengan nyaman dikasur empuknya mengikuti jejak Zae yang terlelap.


***


Satu jam kemudian, Aku sendiri masih menunggu jatah ke kamar mandi yang hanya satu buah di bangunan 10x5 meter ini. Tapi kalau untuk urusan kesiapan pakaian yang akan dikenakan sudah pasti telah siap, kamera poket untuk dokumentasi perjalanan sudah tersiapkan dengan apik di tas gendong kecil, dan tripot ukuran 150 cm telah siap untuk di angkut. Namun rupanya antrian ku setelah Asep. Ya Asep teman ku yang sudah hampir satu jam beraktivitas diruangan yang satu buah itu. Ternyata masih ada dua kawan dibelakang ku; Zae dan Husna masih mengantri.


Tanpa sengaja ku lirik Masjid yang tepat berada di depan indekos kami. Tanpa pikir panjang ku ambil peralatan mandi dan handuk, melesat kesana.



***


"Jam 6 euy...!" ujar ku. Sudah pasti suasana saat itu begitu kelimpungan, keos, dan serba terburu-buru. bukan karena jam-nya tapi karena angka 6 dan 12-nya kami begitu terpontang panting dan lagi Yasir serta Uci sudah menunggu lama diparkiran depan jalan gang yang jaraknya kurang lebih 450 meter, namun menjadi 700 meter karena kelokkan-kelokkan gang sempit di daerah indekos kami.


Dalam perjalanan yang sudah beberapa langkah lagi menuju mobil, Husna tiba-tiba memecahkan jalan cepat kami dengan berujar, "Waduh kaca mata katinggaleun euy!" Tentunya kami kompak menembalnya, "Heu.... hayu ah dah siang euy!" koor kami. Husna hanya bisa tersenyum lebar sambil membetulkan kopiahnya yang bertengger sejak dari indekos tadi di bagian teratas dari kepalanya itu seperti pejabat negara yang sedang mengadakan kunjungan kerja ke daerah. Jujur kami semua begitu geli melihat tingkanhnya yang begitu pede.


***


Perjalanan kami pun sempurna selepas menjemput Iksan (kawan kami dari Solo) di daerah Cinunuk. Tanpa terasa jalur panjang Bandung-Majalengka tertuntaskan dengan memakan waktu yang cukup cepat. Kami datang tepat jam 10.15 WM (waktu Majalengka) saat dimana sang dua mempelai menentukan awal bahtera rumah tangganya, ijab qobul. Ya, saat-saat Ais Iswadi (teman kami yang mengundang) berjabat tangan dengan wali dari sosok wanita disampingnya yang dikerudungkan dengannya. Begitu khidmat kawan suasana saat itu. Kami begitu tegang yang menyaksikannya dan tentu saja sang mempelai prianya yang sahabat dan kawan seperjuangan kami.


Rupanya Ijab qobul terucap dengan sangat santai dan lancar tanpa mengulang untuk kedua kalinya. Dalam benakku berujar, sepertinya Ais sudah semalaman suntuk menyiapkan untuk ini atau bahkan setengah tahun yang lalu.


 "Alhamdulillah....", sang penghulu memandu rasa syukur selepas Ijab qobul terlaksana dan disusul tepuk tangan para tamu yang menyaksikan.


"Saya heran kenapa tepuk tangan kalau sudah beres ijab qobul? Kayak habis nonton sirkus aja, harusnya kan mendo'akan." Ujar sang penghulu menasehati sambil tersenyum-senyum bercanda.


Selepas Ijab Qobul itu entah siapa yang mengomandoi kami. Tiba-tiba kami serombongan serempak mengantri di meja hidangan tanpa sempat memberikan salam kepada kedua mempelai. Rupanya rasa lapar kami telah menuntun kami ketempat semestinya. Maafkan kami kawan perjalanan membuat kami harus memilih antrian ini, gumamku dalam hati.


Kami pun begitu menikmati hidangan yang ada sebelum orkes dangdut mengecek peralatannya yang membuat jantung kami sedikit terpukul-pukul radiasinya. Namun berbeda dengan Asep dia begitu khusyuk menikmati sepiring makanannya sambil membelakangi sound yang tenaganya 3.000 watt. Kami pun mengkhatamkan jamuan ini dengan perut yang sudah membuncit bagi aku dan Husna. Dan kami pun satu persatu mengucapkan selamat kepada kawan kami yang hadal mengucapkan ijab qobulnya ini. Sesi foto-foto pun tidak bisa terelakkan.


Dan ini-lah kami yang berjajar dipanggung pelaminan milik Ais Iswadi dan Astri Novi L.[]