Semilir udara pagi senin ini masih sama dengan hari sabtu kemarin. 04 Februari 2012, tanggal bersejarah bagi salah satu kakak yang juga sahabat kami. Sabtu pagi itu yang teduh dan penuh kebahagian bagi kami selaku adik-adik kelasnya, menghadiri undangan darinya. Kami tahu kau begitu bahagia, kang. Setiap kami di rangkulnya erat dengan pelukan hangatnya. “Terimakasih, akhi.” Itulah kata-kata yang terlontar darinya dengan senyuman yang tak luntur-luntur setiap kali kami bertutur, “Barakallah, ya Akhi.”


Sahabat yang juga kakak kami ini begitu bahagia di hari itu. Senyum yang sumringah terpajang indah di wajahnya sebagai tanda kebahagiannya yang tak bisa di tutupinya. Dan tak ada salahnya bila sebuah peribahasa -raja sehari- tersandang di pundaknya saat itu.


Kebayoran baru kala itu begitu lapang, tak ada sesak-sesak kendaraan bermotor berjubal sepanjang jalan. Yang kali ini bisa ku bilang seperti jalan terminal simpang di kabupaten asal ku. Sekali lagi kami begitu ikut berbahagia. Lihat saja persiapan kami untuk menghadiri undanganmu, seperti; aku yang telah datang ke Jakarta sehari sebelum acara selepas test lamaran kerja di sebuah bank yang tak jelas kapan akan di panggil lagi, seperti salah satu sahabatku yang datang jauh-jauh dari solo dengan bus antar kotanya yang ngepot, seperti sahabat-sahabat lain dari Bandung dan Majalengka yang berdesak-desakkan memadati satu unit mini bus sewaan yang berkapasitas 10 orang. Terlihat nampak lelah mini bus itu bertengger diparkiran masjid depan gang tempat resepsi. Apalah ini kalau bukan tali ajaib yang telah mengikat kita semua dalam bingkai kekeluargaan.


Saat-saat itu dimana kau menjadi pusat perhatian orang banyak karena begitu menentukan, saat-saat itu jabat tangan mu begitu bergetar terlihat dari sisi mana pun, saat-saat itu kau sempurnakan agama, saat-saat itu begitu menegangkan bagi pria mana pun yang baru melakukannya. -Ijab Qobul- terucap dengan lancar di yang kedua kalinya, Alhamdulilah. Semua yang menyaksikan ada yang menangis terisak-isak karena terharu bahagia, ada yang tersenyum-senyum karena tak sanggup menumpahkan air matanya, dan ada yang meninju-ninju udara di bangku tamu luar tenda dengan berucap tegas tapi pelan, “Allahhu...akbar.”



***


Senin, 06 Februari 2012. Sekali lagi semilir udara pagi senin ini masih sama dengan hari sabtu kemarin. Kali ini Bandung tempatku berada. Memenuhi pengaduan nasib di Ibu kota Priangan ini. Lowongan kerja di sebuah bank baru yang ber-genre Syariah,Walk in interview. Aku dapat informasinya dari seorang sahabat asal Majalengka di Jakarta dua hari yang lalu tepatnya di Kebayoran Baru.


Sebut saja sahabat ku ini Adi. Dia adalah mantan aktivis yang begitu meletup-letup bila sedang aksi, maklumlah jabatan ketua di sebuah lembaga kemahasiswaan yang di sandangnya kala kuliah dulu. Bila ia sambutan, satu jam itu tak cukup baginya tak jarang bila seksi acara sering kalang kabut di buatnya. Orasi-orasinya di setiap kesempatan demo mahasiswa tak kalah panjangnya dari sambutannya. Maka bila tampil di mimbar orator demo mahasiswa tak jarang ia tak pernah Absen kecuali bila ia sedang menghadapi ujian semester.


Dan kami bermalam bersama sahabat-sahabat yang masih kos bersama di kota ini.


Malamnya kami sibuk menyiapkan semua persyaratan yang belum tersiapkan. Foto ukuran post-card dengan tampak seluruh badan adalah syarat yang paling tersulit bagi kami, pelamar kerja deadline. Putar otak kami cari akal dan kamera pinjeman teman menjadi penyelamat kami. Sampai pukul 00.00 WIB kami meng-edit foto yang di butuhkan agar nampak sempurna kualitas studio foto.


Pukul 10.00 WIB, kami bergegas pergi menyambangi Bank yang di maksud dengan alamat yang sudah terekam di memori kepalaku. “Assalammualaikum...”, salam kami berdua kepenghuni kosan tempat kami bermalam.


Tikungan demi tikungan terlewati, jembatan layang yang melintang di tengah kota telah kita seberangi. Hingga deru motor bebek ku tersengau-sengau berat kelelahan. Tikungan ke kiri di depan itu yang terakhir untuk mengkhatamkan perjalanan kami. “Brem... brem”, sampai sudah kami di sebuah bank yang dimaksud, namun tak ada ciri-ciri bank ini beraliran syariah. Tanda tanya besar bergelayutan di benak kami berdua. Kontan Adi mencari tau dengan semua ini, karena jiwa aktivisnya tersulut.


“Oh, Fit. Ini bank masih jadi sub manajemennya.” jelasnya selepas menanyakan ke salah satu satpam yang sedang berjaga di pos.


Kami pun menuju lantai dua tempat dimana perhelatan interview berlangsung. Duduk bergabung dengan pelamar yang lain, kami berdua menunggu giliran di panggil masuk keruangan yang horor pada saat itu. Tak sengaja melihat, ternyata rok mini pun hadir menjadi calon pelamar di bank syariah, apa ini?


Satu persatu bangku sudah kami jajali duduk hingga di ujung paling kiri depan. Dan kami pun mendapat giliran masuk. “Ya, selanjutnya.” satpam yang di dalam ruangan itu memanggil.


“Ya, Pak bisa di ukur dulu tinggi badannya?” tanya sang satpam.


“Oh, boleh.” jawabku.


Untuk hal yang satu ini sahabatku Adi tak perlu menjalaninya karena tingginya sangat cukup ideal bagi calon pelamar pegawai bank.


“Iya, Pak silakan meneruskan ke tahap berikutnya. Tolong di siapkan berkas-berkasnya.” Jelas sang satpam.

Alhamdulillah, lolos juga 166 cm ku ini, gumamku.


Adi telah bergeser ke meja pemeriksaan berkas. Aku pun bergeser ke bangku yang baru di tinggalkan Adi sebelum ke meja pemeriksaan berkas itu. Datang seorang pelamar lain dengan kerudung modisnya. Aku pandangi dia sebagai pesaing yang cukup berat. Dari gaya berbicaranya yang terlihat meninggi saat kami menunggu di bangku luar sampai ketemu lagi di ruangan ini. Dan sang satpam bertanya hal yang serupa kepadanya. Wanita berkerudung modis ini pun berdiri memunggungi pintu kayu. Pengukuran pun terjadi, al-hasil. “Maaf, Mba sepertinya tidak bisa mengikuti ke tahap selanjutnya karena tinggi mba kurang dari 160 cm.” Sang satpam menjelaskan sampai ke tiga kalinya. Dan sang kerudung modis pun meninggalkan ruangan.


Semoga ia tak menyalahkan soal tinggi badannya, gumamku dalam benak. Dari meja pemeriksaan berkas Adi terlihat sedikit protes dengan suara yang tak jelas dari meja itu. Sepertinya ia tak lolos terlihat dari wajahnya yang tak menerima saat meninggalkan ruangan ini. Rupanya petugas di meja itu belum tahu yang di hadapinya siapa. Dialah Adi sang macan kampus 4 tahun yang lalu.


“Ya, silahkan Pak selanjutnya.” Sang satpam mempersilahkan.


Sesampainya duduk di meja itu. “Iya, pak boleh saya lihat berkasnya?” Tanya petugas itu.


Dilihatnya satu persatu berkas ku. Dan ia terhenti di foto copy KTP. “Maaf pak, klo boleh saya tahu umur bapak sudah 25 Tahun ya?” tanya nya. “Iya”, jawabku. “Oh, maaf pak sepertinya bapak tidak bisa mengikuti interview ini di karenakan kami membutuhkan calon pegawai yang maksimum usia 25 tahun pada saat per- 29 Februari sekarang. Terimakasih sebelumnya sudah mengikuti lowongan kerja kami.” Jelasnya sambil memperlihatkan print-out persyaratan di Online. (Kalau di pertegas lagi kira-kira seperti ini, maaf anda bukan 25 pas tapi 25 lebih 3 bulan).


Rupanya di karenakan kelebihan tiga bulan, kandas sudah interview yang akan aku jalani. Pantas saja Adi begitu gusar terlihat di luar ruangan, ternyata karena soal ini. Dan saya pun hanya bisa tersenyum dan meninggalkan ruangan horor itu.


Sepanjang jalan menuju kosan, Adi hanya bisa membahas kekesalannya. Katanya, “informasi di web-nya 25 tahun kok bisa rubah, sih? Kenapa gak lihat pengalaman kerja dulu, kek! Dan bla-bla.” Aku hanya bisa tersenyum bila mengenang jauh ke 4 tahun yang lalu, mungkin sudah habis petugas tadi di lumat orasinya Adi.


Semenjak itu Adi sedikit alergi dengan kata-kata maaf dan aku kembali menunggu panggilan dari perusahaan yang membutuhkan jasa dari tangan ku ini. Semoga kau dan aku dapat yang terbaik kedepan, kawan. []